Berita  

Menguak Sindikat Penipuan Bermodus Tawaran Kerja ke Kamboja

WhatsApp Image 2022 07 31 at 16.18.47
Para pekerja migran asal Indonesia yang mengalami penipuan kerja di Kamboja berada di asrama perusahaan di Kota Sihanoukville. (Foto: Dok. Kompas/Bisanews).

BATU BARA | Bisanews.id | Puluhan pekerja migran Indonesia yang menjadi korban penipuan kerja di Kamboja sudah dievakuasi dari tempat kerja mereka. Selanjutnya, mereka dipulangkan ke Indonesia.

Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi, dalam konferensi pers daring, Sabtu (30/7/2022) malam mengatakan, sebanyak 55 WNI yang menjadi korban penipuan perusahaan investasi palsu di Sihanoukville, Kamboja, telah dibebaskan dari penyekapan. Sementara lima lainnya masih dalam upaya pembebasan.

Melansir BBC News Indonesia, menurut Retno Kemenlu RI juga akan bertemu dengan Kemlu Kamboja dan Kepolisian Kamboja untuk mencegah kasus penipuan berbasis online ini terjadi lagi.

“Baru beberapa menit yang lalu diperoleh informasi bahwa pertemuan saya dengan Commissioner General, seperti Kapolri kalau di Indonesia, akan dilakukan pada tanggal 2 Agustus pagi di Markas Besar Kepolisian Kamboja di Phnom Penh,” kata Retno.

TERORGANISIR

Untuk diketahui, kasus penipuan dengan modus tawaran kerja seperti yang menimpa 60 WNI baru-baru ini, bukanlah yang pertama terjadi. Pada 2021, KBRI di Phnom Penh pernah menangani dan berhasil memulangkan 119 WNI korban penipuan tawaran kerja di perusahaan investasi bodong.

Di tahun 2022, kasus serupa semakin meningkat. Hingga Juli, tercatat ada 291 WNI menjadi korban penipuan, dan 133 diantaranya dipulangkan ke Indonesia.

Ketua Pusat Studi Migrasi LSM Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan kasus penipuan dengan modus tawaran kerja di Kamboja marak terjadi disebabkan kurangnya edukasi publik dari pemerintah.

Sindikat perdagangan manusia itu biasanya menyasar daerah yang tingkat penganggurannya tinggi, banyak pekerja migran, berusia produktif, dan minim akses informasi. Kejahatan itu termasuk tindak pidana perdagangan manusia.

IMG 20220731 WA0003
Menlu Retno Marsudi. (Foto: Dok. Maluku Terkini/Bisanews).

Para sindikatnya ada di banyak negara, termasuk di Indonesia. Mereka memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, dan menawarkan kerja lewat media sosial, utamanya Facebook.

“Sindikat perdagangan manusia ini terorganisir dan calonya pasti ada juga di Indonesia,” ujar Anis Hidayah kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (29/7/2022).

Pantauan Migrant Care, tawaran pekerjaan bodong itu berhamburan di Facebook. Jenis pekerjaan yang biasanya ditawarkan para sindikat itu antara lain di sektor informal, seperti perhotelan.

Tapi kenyataannya, mereka bekerja di perusahaan investasi abal-abal atau judi online. “Tawaran kerja di Facebook itu luar biasa banyak, ada mungkin ratusan ribu. Dan betapa canggihnya jaringan ini membujuk rayu para korban dengan bahasa yang sangat meyakinkan,” paparnya.

CARA KERJA SINDIKAT

Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pernah menggagalkan pengiriman enam calon pekerja migran ilegal ke Kamboja pada 2020. Berdasarkan pemeriksaan, mereka mengaku mendapat tawaran bekerja di Kamboja melalui kerabat dan dijanjikan gaji Rp 4 juta, dan uang makan US$ 250 (Rp3,7 juta) setiap bulannya.

Media di Kamboja Khmer Times pada Maret 2022 melaporkan pihak berwenang di negara itu berhasil menyelamatkan 44 WNI setelah “diperdagangan layaknya ternak” oleh sindikat perjudian online China yang beroperasi di Sihanoukville dan Chrey Thum.

Untuk diketahui Sihanoukville adalah kota pelabuhan di selatan Kamboja dan menjadi lokasi favorit investor dari China. Tempat itu dikenal sebagai sarang perjudian, baik legal ataupun tidak, yang terorganisir.

Para WNI itu, menurut laporan tersebut, bekerja setidaknya 12 jam sehari dan sering menerima ancaman jika tidak mencapai target harian.

“Jika mereka gagal mencapai target minimum, hidup mereka serasa di neraka. Untuk keluar dari perusahaan, operator sindikat memaksa mereka atau keluarganya membayar US$ 3.000-5.000 (Rp44-74 juta) sebagai kompensasi membebaskan mereka.

IMG 20220731 WA0004
Ketua Pusat Studi Migrasi LSM Migrant Care, Anis Hidayah. (Foto: Dok. Kompas/Bisanews).

Investigasi yang dilakukan Thomson Reuters Foundation pada September 2021 menemukan pekerja asing dan turis yang terdampar di Kamboja akibat pandemi Covid-19 dipekerjakan oleh sindikat penipuan online yang dikelola orang China. Para korban sebagian besar berasal dari Afrika dan Asia.

Cara kerja sindikat itu yakni para korban diperintahkan membuat akun profil palsu di Tinder, WhatsApp, dan Facebook. Tujuannya untuk mengajak bergabung dalam skema investasi bodong yang menggunakan mata uang kripto, valuta asing, dan saham.

KETERLIBATAN OKNUM

Untuk memberangus kasus penipuan ini, Kemenlu dan Bareskrim Polri telah melakukan penyelidikan di Kamboja guna menindak para perekrut.

Tapi menurut Ketua Pusat Studi Migrasi LSM Migrant Care, Anis Hidayah, itu saja tidak cukup.

Pemerintah, katanya, perlu menggencarkan kembali upaya edukasi tentang migrasi yang aman dan ciri-ciri kejahatan perdagangan manusia yang selama ini terhenti akibat pandemi Covid-19.

“Karena berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran pasal 41 memandatkan desa harus memiliki upaya-upaya pemberian informasi kepada masyarakat. Nah ini belum optimal,” tukasnya.

Selain itu, pemerintah atau tim siber di Kominfo dan Polri harus gencar menangkis, bahkan kalau perlu menutup akun-akun lowongan kerja yang tak resmi di media sosial seperti Facebook.

“Akun-akun ini kan bisa dilihat dan dipantau karena orangnya bisa diidentifikasi. Yang saya perhatikan upaya meng-counter akun-akun itu masih minim dilakukan”, ujarnya.

Persoalan lain, menurut Anis, pihak Ditjen Imigrasi harus mengontrol anak buahnya di lapangan. Sebab ia menduga, lolosnya para korban sindikat ini tak lepas dari adanya keterlibatan oknum petugas imigrasi.

“Petugas imigrasi ini mestinya pengontrol terakhir, tapi selama ini mereka hampir diam. Dugaan kuat mereka jadi bagian. Nah, bagaimana diusut oknum-oknum ini. Hal itu hampir enggak pernah dilakukan di Indonesia”, pungkas Anis.

Writer: RedaksiEditor: Abdul Muis